Pages

Thursday, July 28, 2016

My First Children Story

Lala, si Tukang Pepet-Pepet Waktu

BY FLORENCIA IRENA

"Kisah ini adalah kisah seekor koala perempuan kecil yang hidup di suatu hutan belantara. Ia hidup bersama ibu dan seorang kakak perempuannya. Koala mungil ini bernama Lala. Lala berbulu abu-abu kecoklatan dan ia senang sekali memanjat pohon. Ia termasuk cepat dalam memanjat pohon karena Lala mempunyai cakar yang cukup kuat untuk menahan tubuhnya sewaktu ia memanjat di pohon, terlebih lagi, tubuhnya yang mungil membuat ia lebih gampang bergerak. Akan tetapi, Lala suka sekali bermalas-malasan dan menunda-nunda pekerjaan, termasuk menunda belajar dan menunda melakukan yang hal yang diminta ibunya. Selalu ia bilang, nanti, nanti, dan nanti. Sampai ibunya kesal menunggu, dan akhirnya tidak jadi minta tolong pada Lala.

Pada suatu pagi yang dingin, belum ada matahari dan masih terlihat bintang-bintang di langit yang menghiasi langit, ibu Lala telah selesai menyiapkan sarapan pagi itu. “Lalaaaa, jem berapa ini? Bukannya sudah waktunya kamu bangun?,” teriak ibunya. Hening, tidak ada jawaban. Ibunya pun kembali berteriak,“LALAAA!”.“Hoaaam, iya bu, ini Lala sudah bangun,” jawab Lala yang masih mengantuk karena baru sadar dari tidurnya. Ibunya menghampiri tempat tidur Lala. “La, bukannya, hari ini ada test masuk Sekolah Hutan Raya, ya? Sekolah impianmu itu lho. Jem berapa itu test-nya?,” tanya ibunya. “HUAHH, iya bu.. Tapi masih sempet kok bu, kan mulai test jem setengah delapan pagi. Ini masih jem setengah enam bu,” jawab Lala yang perlahan-lahan bangun dari tempat tidurnya.

Lala yang mungil ini telah lulus dari sekolah dasar lamanya. Ia berencana masuk ke sekolah impiannya, yaitu Sekolah Hutan Raya. Alasannya karena Lala bercita-cita ingin menjadi pemanjat pohon tercepat seantero hutan, dan satu-satunya cara supaya ia bisa mengikuti lomba nasional adalah dengan masuk menjadi murid di sekolah Hutan Raya ini. Sekolah Hutan Raya rutin mengirim anak muridnya mengikuti lomba-lomba bergengsi dan tentunya, ini akan menjadi jalan yang bagus buat Lala berprestasi di olahraga panjat pohon. “Jadi pemenang panjat pohon itu keren banget,” pikir Lala.

Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya, langit pun terang walau udara masih terasa dingin. “La, bener yah, jem setengah delapan mulainya?”, tanya ibu. “Iya, jem setengah delapan, bu, mulainya. Aku ga akan terlambat, bu. Kan aku rencananya pergi jem tujuh, terus, perjalanan ke sana setengah jam, jadinya pas, bu, sampe sana,” sahut Lala yang sedang mengunyah makanannya. “Dasar tukang mepet-mepet! Bukannya sekarang kamu harusnya udah berangkat sekarang? Ngapain tunggu jem tujuh segala? Buruan, La, pergi sekarang aja, lebih baik pergi lebih awal,” tiba-tiba si kakak ikutan menyahut. “Ah, kak, bentar dulu lah, Lala lagi mau belajar sedikit lagi. Yang ini belum Lala baca. Lima belas menit lagi aja, kak,” jawab Lala. “Ya udah, terserah kamu, kakak udah wanti-wanti ke kamu pokoknya,” jawab si kakak.

Tepat pukul tujuh, Lala segera bergegas berjalan menuju Sekolah Hutan Raya. Sesekali koala mungil itu menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan, mengagumi betapa indahnya pemandangan padang ilalang yang diterpa sinar matahari pagi. “Semoga hari ini menjadi hari yang baik buatku, langkah awal yang menjanjikan. Setelah lolos masuk, aku akan mencoba masuk klub panjat pohon, lalu ikut lomba nasionalnya. Huah, betapa indahnya,”pikir Lala sambil tersenyum. Lala pun berjalan lagi.

Ternyata Lala sampai di Sekolah Hutan Raya kurang dari setengah jam. Suasana di gerbang sekolah tidak sepi-sepi amat, beberapa orang tua yang menunggui anaknya, dan ada juga kakak-kakak yang tidak jauh berbeda umurnya dengan Lala berlalu-lalang di sana. Setelah melewati gerbang sekolah tadi, timbul masalah baru lagi. Sekolah Hutan Raya itu terlalu luas. Lala tidak tahu dimana letak tempat test masuknya. “Menurut kakak rusa di gerbang tadi, katanya sih lewat sini jalannya. Jalan beberapa meter sampai ketemu pohon kayu emas, lalu akan kelihatan tempat ujiannya,” Lala berbicara kepada dirinya sendiri sambil berjalan menuju pohon kayu emas . 

Sepuluh menit berlalu, dan Lala masih belum menemukan dimana pohon kayu emas. Akhirnya, Lala pun memutuskan untuk bertanya lagi. “Itu lho yang itu pohon kayu emas yang daunnya hijau itu,” sahut kakak rusa, tapi berbeda dengan kakak rusa yang pertama kali ia tanyai. Kakak rusa itu menunjuk pohon yang telah ia lewati. “Yang mana, kak? Saya tidak lihat, kak,” balas Lala. “Coba kamu di posisi saya, coba ke sini,” jawab kakak rusa. “Oala, itu ternyata, yang tertutup dengan daun-daun. Pantas ga kelihatan,” sahut Lala. “Iya, setahu saya, petugas penjaga tamannya sedang cuti, dan daun-daunnya tidak dirapikan. Jadinya menutupi begitu. Biasanya selalu kelihatan kok,” balas kakak rusa itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Lala pun berlari ke arah pohon kayu emas itu. Lumayan juga jaraknya, karena ternyata letaknya, kalau dihitung-hitung lagi, tidak jauh dari gerbang masuk tadi.

Akhirnya, Lala sampai di pohon kayu emas. Suasana hening. Di balik sisi pohon kayu emas, tak jauh dari sana, terlihat anak-anak yang lain terlihat duduk serius menunduk ke arah meja, seperti sedang mengerjakan soal. Mereka semua duduk di hamparan rumput nan hijau. Angin sepoi-sepoi, dan Lala yang sedang terengah-engah setelah berlari tadi perlahan-lahan berjalan mendekat. “Wah, benar, sepertinya aku terlambat, tapi pasti tidak terlalu lama. Aku yakin,” kata Lala dalam hati tanpa mengecek jam yang ia bawa. Lala pun menghampiri kakak kelinci yang berdiri paling depan, sedang mengawasi anak-anak lain mengerjakan soal. “Maaf, kak, saya terlambat,”kata Lala. “Anak-anak yang lain sudah mengerjakan dari tadi. Kamu sudah terlambat hampir sepuluh menit. Keluarkan alat-alat tulis kamu, ya. Soal test-nya dan lembar jawaban sudah diletakkan di atas meja, kamu cari aja tempat duduk kamu, ” kata kakak kelinci. “Baik, kak, terima kasih,” jawab Lala.

Lala sedikit kaget juga, ternyata lembar jawaban test masuk Sekolah Hutan Raya menggunakan metode pembulatan dengan pensil. “Yah, ini harus dijawab dengan bulatan pensil. Hiks, makin lama aja selisih waktuku dengan anak-anak lain yang duluan mengerjakan soal ini. Huh!” umpat Lala dalam hati. Lala yang masih terengah-engah itu mencoba mengatur nafasnya dan ia pun mengerjakan soal dengan waktu yang tersisa.

“Ya, semuanya, sudah habis waktunya. Silakan berhenti mengerjakan soal. Saya akan mengambil lembar jawabannya,” begitu kata kakak kelinci di akhir waktu pengerjaan soal. “Soal test-nya banyak juga yaa, dan beberapa belum selesai, aku coba isi asal saja yang belum dijawab. Kalau soal yang sudah dijawab, jumlahnya hampir 80% dan itu aku yakin benar semua. Aku rasa masih bisa lolos. Ya, semoga saja aku bisa masuk ke Sekolah Hutan Raya ini,”pikir Lala dalam hati. Soal dan lembar jawaban diambil oleh kakak kelinci. Lala pun pulang dengan hati yang penuh dengan keyakinan.

Hari pengumuman tiba. “Bu, tunggu kabar gembira dariku ya, bu. Aku sih yakin, bu,” kata Lala yang bersiap-siap untuk pergi sambil tersenyum kepada ibunya. “Bagus, kalau kamu yakin, La. Semoga lolos ya,”kata ibu Lala. Lala pun berangkat dengan semangat, senyum nan lebar, dan hati berdebar-debar. Sesampainya di Sekolah Hutan Raya, Lala segera menuju tempat pengumuman di dekat pohon kayu emas. Di sana, sudah banyak anak yang bergerombol melihat ke papan pengumuman. Ada tiga papan pengumuman yang masing-masing ditempeli kertas nama anak yang lolos test masuk Sekolah Hutan Raya. Lala mendekati papan pertama. “Urut abjad ternyata. Hmmm, tapi tidak ada namaku di sini,” kata Lala. Lala pindah mendekati papan yang lain. “El.. El.. El.. Karno, Kosu, Laila,… lalu Luna,” setelah berkata demikian, Lala pun terpaku. Semangatnya yang tadinya menggebu, hilang sudah. Senyumnya pudar dan matanya yang tadinya berbinar, redup, terpaku melihat ke bawah. Seluruh harapan dan cita-citanya seperti hilang ditelan bumi. Ia merasa hancur. Lala yang terlalu berharap dan yakin itu, tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Lala pun berbalik dan hendak berlari pulang, ingin segera tidur dan melupakan hal ini. Akan tetapi, ia menabrak seekor gajah kecil. “Maaf,”kata Lala. Gajah kecil itu sepertinya tahu hasil apa yang didapatkan Lala. Ia pun berkata,”Kamu tidak lolos yah, koala? Aku juga. Tapi, kamu tahu tidak, ada tulisannya di papan yang sebelah sana. Katanya, ada test masuk kedua. Jadi, kita masih punya kesempatan. Kira-kira dua minggu lagi.” Lala sejenak melihat ke arah gajah kecil itu. Lalu, tanpa menjawab sepatah kata pun, Lala berlari pulang.

Sesampainya di rumah, ibu dan kakak Lala sedang pergi, Lala segera menuju ke tempat tidurnya menangis sekerasnya sambil berkata, “Huahh, Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa kamu begitu bodoh, Lala, Huhu.”

Lala masih di kamarnya ketika si kakak datang. Kakak Lala menghampiri Lala. “La, gimana hasilnya?”, tanya kakak. “Tidak tahu!”, jawab Lala ketus. “Kok ketus gitu. Coba keluar dari selimut itu, cerita sama kakak,” balas kakak. “Tidak ada yang harus.. ”, belum selesai Lala bicara, selimut Lala tertarik. Mata koala mungil yang bengkak dan berair itu, dan hidungnya yang kemerahan, terlihat oleh kakaknya. “Kamu menangis ya? Ga lolos, La?”, tanya kakak. Tidak ada jawaban, Lala masih menunduk. “Kamu nih pasti mepet-mepet terus jadinya telat yah? Sudah kakak bilang kan sebelumnya, jangan suka mepet-mepet, menunda ini menunda itu. Lihat kan hasilnya? Kamu yang ingin banget masuk Sekolah Hutan Raya…”, kata si kakak. Belum selesai berkata, Lala sudah menyahut lagi,“ Iya, iya, kak, Lala ga lolos. Huhu. Lala sebel banget sama diri Lala, Lala ga mau lagi telat, nunda, dan mepet-mepet. Sedih banget, kak. Padahal, Lala sudah yakin banget masuk. Kok bisa ga masuk sih, kak? Huhu.” Kakak pun membalas, “Intinya gara-gara kamu telat, La, menganggap segalanya mudah.” Lala menangis sesaat lalu terdiam sambil mengusap air matanya.

“La, kamu ada rencana berikutnya?”, tanya kakak. “Tadi Lala denger ada test kedua, kak. Tapi, Lala ga percaya diri, kak. Nanti kalau ga masuk lagi gimana? Sedih kak, Lala takut ditolak lagi,” jawab Lala. “Katanya mau jadi juara lomba panjat pohon seantero hutan. Coba bayangkan kalau kamu berhasil lolos masuk Sekolah Hutan Raya dan berhasil jadi pemenang lomba, ibu dan kakak pasti bangga sama kamu, kamu ingetkan? Kamu sendiri yang bilang itu ke kakak,” sahut kakaknya berbinar-binar. “Tapi, rasanya udah hilang semua itu, kak, hancur,” balas Lala. “Ayo, masa adik kakak begitu sikapnya? Kamu ga akan pernah menang kalau begitu saja sudah menyerah. Coba test masuk lagi ya, La,” si kakak menyemangati. “Hmmps, tapi, tapi..,”jawab Lala. “Tidak ada tapi, tapi, kakak tunggu kabar kamu test lagi, kakak yakin kamu akan lolos kalau kamu tidak terlambat,” kata kakak. “Tapi, kak, jangan kasih tau ke ibu ya, kak. Aku mohon,” kata Lala. Kakak menjawab, “Sama keluarga sendiri tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Apalagi sama ibu, ibu pasti ujung-ujungnya akan tahu walau kita tidak memberi tahu sekalipun. Kalau tidak kepada keluarga, kepada siapa lagi kita mau berbagi masalah kita? Jadi, ga perlu takut cerita sama Ibu ya.” Lala menanggapi, “Iya, tapi aku aja ya yang kasih tau ibu, jangan kakak.” Kakak pun menganggukkan kepalanya.

Malam itu, Lala menceritakan hasil test-nya. Ibu pun menyemangati seperti kakak dan mendukung Lala untuk lanjut dan mencoba kembali. Setelah bercerita kepada Ibu dan kakak, hati Lala menjadi lebih tenang dan lebih lega. Lala pun segera tidur agar cepat melupakan kejadian buruk hari ini.

Di pagi hari yang tenang, kicau burung terdengar merdu, Lala terbangun dari tidurnya. Segala campur aduk ingatan kemarin masih membekas. Lala bangun dari tempat tidurnya dengan langkah lunglai. Melihat anaknya yang tidak semangat itu, Ibu pun berkata, “Lala, ayo semangat. Coba lihat itu semut-semut di pinggir meja makan, mereka aja pagi-pagi seperti ini udah semangat berjalan mencari mangsanya. Jangan mau kalah sama semut-semut yang rajin dan bersemangat itu, ya.” Lala pun menengok ke arah meja makan. “Iya, bu, sudah banyak saja ini semut, ckckc, ” jawab Lala, ia pun bermain-main dengan semut sejenak dan sedikit demi sedikit mulai tersenyum.

Entah sejak kapan, semangat dan harapan Lala kembali terpupuk. Lala kini kembali bersemangat dan berpikir positif. Ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan menunda-nunda pekerjaan apa pun dan berjanji tidak akan terlambat lagi. Kini, ia lebih displin dalam belajar, tidak belajar semalam sebelum ujian lagi. Ketika ibunya meminta tolong sesuatu pun, Lala segera menghampiri dan membantu ibunya. Hingga tiba saatnya, Lala datang mengikuti test masuk Sekolah Hutan Raya untuk kedua kalinya. Ia tidak terlambat dan malah sempat mengatur posisi alat tulisnya. Dan hasilnya, Lala pun berhasil masuk Sekolah Hutan Raya. Betapa senangnya Lala dan merayakannya dengan keluarga tercintanya di rumah. Ibu menyiapakan makanan yang sedikit lebih ‘wah’ pada malam harinya.

Sikapnya yang mulai menghargai waktu dan tidak menunda itu, ia bawa ketika ia masuk ke klub panjat pohon di sekolah. Hal tersebut sangat berguna mengingat klub ini menerapkan dispilin latihan yang tinggi. Setelah beberapa kali mengikuti pertandingan antar sekolah, Lala berhasil membuktikan kemampuan panjat pohonnya dengan memenangkan sebagian besar pertandingan. Lala pun dipercaya untuk menjadi wakil sekolah mengikuti pertandingan impiannya, pertandingan panjat pohon nasional seantero hutan. Apakah Lala berhasil menjadi juara? Sayangnya, untuk saat itu, tidak. Lala masih harus mengakui kehebatan lawannya. Tapi, di dalam hati Lala, masih ada semangat itu, ia berjanji tidak akan pernah menyerah agar bisa mencapai impiannya.

-Tamat-

No comments:

Post a Comment